Allahu Akbar... Allahu Akbar..
Adzan dzuhur berkumandang.. saat aku membaca chat dari fasilitas medsos gmail bernama hangout dari suamiku..
Sibuk ya? :(
Terdiam aku membaca pesannya tersebut,
Jiwaku masih terpengaruh dengan sikapnya tadi pagi, dengan kejadian tadi malam, yang diawali kejadian hari kemarin. Saat aku pulang bekerja, aku tak langsung pulang ke rumah mertuaku, adzan maghrib telah berkumandang saat aku melewati daerah metropolis di daerahku, sebut saja, Cimacan. Perjalanan menuju rumah mertuaku masih menghabiskan waktu sekitar 15 sd 20 menit. Batinku terus berkecamuk, "Pulang langsung ke Maleber atau ke Gadog?" berkali - kali pertanyaan dua nama kampung itu terus berputar di kepalaku sembari aku mengendarai motor Honda Revo - 110 berwarna biru, fasilitas inventaris yang di berikan perusahaan tempat aku bekerja.
Tiba-tiba, perutku menggerutu, Oh tidaaaak.. Perutku terasa begitu lapar. Bagaimana tidak, saat itu adalah hari ke - 13 di Bulan Ramadhan 1436 H. Ku naikkan kecepatan revo biru itu, namun jarum jamnya entah menunjukkan angka berapa, jarum jam merah di speedometer tak mau menggerakan diri karena kabel pendeteksi kecepatannya putus. Aku berfikir lebih keras, aku timbang - timbang baik buruknya bila aku pulang ke Gadog (ruamh kedua orang tuaku) langsung dengan aku pulang ke Maleber (Rumah mertuaku dimana tempat aku tinggal sekarang).
Aku berfikir, pertama suamiku akan sampai di rumah sekitar pukul 18.40, karena pesan yang ia sampaikan tadi melalui telepon selularku adalah ia lembur 2 jam, kemungkinan buka puasa di perjalanan. Kedua, aku pun membawa uang penarikan nasabahku, yang rumahnya tak jauh dari rumah Orang tuaku, aku ingat bahwa janjiku menyampaikan hari Selasa. maklum aku adalah pegawai BMT, yang sering jam kerjaku melewati batas kerja biasanya, karena urusan pekerjaan yang belum usai (yang karena ini pula sering terjadi kesalahfahaman antara aku dan suamiku), Ketiga adalah baju cucian yang telah aku pak saat hari senin, sekalian akan ku ambil beserta tasbih digital, charger, dan shampoo milik suamiku dan alasan pendukung ke empat adalah perutku keroncongan, menahan lapar dan dahaga sejak fajar menyingsing.
Bulatlah sudah keputusanku untuk segera membelokkan arah ke rumah orang tuaku.
***
"Assalaamu'alaikum..." ucapku membuka pintu rumah.
Terkaget kedua orangtuaku melihat kedatanganku yang tanpa kabar sebelumnya. Sepasang suami istri yang tengah menikmati hidangan berbuka. ya hanya sepasang artinya tak ada pengganggu lagi. Layaknya Romeo dan Juliet hhe... Kedua anak mereka telah menikah dan si bungsu sampai waktu berbuka tiba masih entah dimana mainnya.
Kulihat telpon genggamku, ada beberapa pesan masuk.
dari Mama mertuaku, Papa mertua dan Suamiku.
Lengkap!
Sebelum aku pulang telah ku kirim pesan pada Mamah & Papa :
Assalaamu'alaikum mamah + papap..
maaf teteh ngerjain laporan akhir bulannya belum selesai jadi kayaknya kesorean .. pulang lewat maghrib..
Aa lembur sampai jam 5
Kemudian Mamah mertuaku menjawab, dengan perhatiannya :
Iya, bukanya dimana teteh?
Papa mertuaku menjawab dengan kasih sayangnya
Waalkm salam. Ya. Mamah bikin bala2 + pesmol
Dan terakhir ku baca sms dari suamiku,
Sekali lagi aku dilema. Aku takut pulang ke rumah. Aku takut suamiku akan marah, meskipun aku tahu betul marahnya adalah diam. Segera ku bereskan segala urusanku di Gadog dan akupun berkemas pulang.
Ku kejar waktu tarawih, nyatanya adzan sudah berkumandang di tengah perjalanan. Menandakan aku tak akan bisa ikut shalat terawih berjamaah. Padahal sunah shalat tarawih adalah berjamaah.
Sampailah aku di halaman rumah nenek dari suamiku, halaman yang di tanami bunga berwarna jingga itu sungguh cantik bila di lihat pagi hari. Segera ku matikan mesin motrku dan ku tekan kedua kakiku mendorong motor inventaris tersebut.
Benar saja jamaah ibu-ibu yang ada di dalam rumah Emah, begitu kami memanggil nenenk dari sumaiku. Telah berjajar rapih seraya mengucap Aamiin. Aku tertinggal shalat tarawih berjamah, dan mugilah aku malam itu.
Ku parkirkan motor di halaman rumah emah dan ku bergegas menaiki anak tangga menuju rumah mertuaku. Nampak jelas rumah berwarna merah dengan tembok samping di cat hijau itu menyala, di sorot lampu putih yang menempel di atap teras rumah. Rupanya rumah tak di kunci dan ku dapati suamiku tengah duduk dengan kepala menunduk di atas sajadah menghadap kiblat.
Ku sodorkan tanganku menyalaminya, bergegas ku cuci kakiku, ku kenakan mukena putih, seserahan dari suamiku 24 Mei 2015 silam, ku gelarkan sajadah dan berdiri di belakngnya dan kamipun shalat isya berjamaah. Di tengah shalat, ku rasakan kakiku gemetar mungkin karena tumpukkan pekerjaan di kantor yang bertepatan dengan akhir Bulan, dan rekan kerjaku yang tidak masuk selama 7 hari membuat pekerjaanku bertambah, namun di tengah shalat aku berfikir, Ya Allah, jarak tempat kerja suamiku lebih jauh dari jarak anatara rumah dengan tempat ku bekerja, pasti ia rasakan lelah, namun seringkali sesampainya di rumah tak ada aku, istrinya yang seharusnya melayaninya.
Selesai shalat sunah rawatib, raut wajahnya belum berubah, belum ada sunggingan di samping kanan maupun kiri bibir pemuda tampan berusia 23 tahun itu. Masih nampak kekesalan pada istrinya yang hanya terpaut usia 16 bulan ini.
Bila sudah begini aku tak bisa berkata apapun. Diamnya adalah teguran untukku. Kata maaf sudah menjadi langgananku. Tapi sering aku ulangi - ulangi kebiasaanku. Ku katakan kebiasaan karena aku tak mau mengatakan ini kesalahan. Bila sudah begini ego ku muncul. Argumenku meluap dalam hati. Suamiku tahu kesibukanku saat kami masih dalam tahap perkenalan. Aku sering pulang maghrib demi menyelesaikan pekerjaanku di kantor. Belum lagi kegiatan madrasah, lanjutan kesibukan waktu malam, dan kegiatan belajar mengajar di waktu libur bekerja.
"Harusnya ia bisa mengerti aku! Pekerjaanku mengharuskanku menyelesaikan pekerjaanku di hari yang sama! Belum lagi mengenai piutang bermasalah, dan lain sebagainya!" Berbagai alasan memenangkan egoku! Namun, luluh lagi egoku mengingat nasihat guruku, " Suamimu adalah orang yang haruis kau patuhi perintahnya!"
Kalau sudah begini, jadilah aku orang yang dilematis. Satu sisi pekerjaan satu sisi suami. Namun, terkadang dalam hati kecilku, ingin sekali ia memahami aku lebih ekstra, menghargai karier ku, disambut dengan senyuman saat aku pulang kantor over time, dan lain sebagainya. Menjadi Isteri yang juga bekerja di luar rumah butuh pengertian yang luar biasa dari suami, mulai dari kepercayaan, hingga hal kompleks seperti jam pulang, klien dan lain sebagainya.
Kepercayaan & pengertiaan harus sama-sama dimiliki oleh kedua belah pihak aku kira.
***
Namun, aku harus lebih jauh bersyukur, suamiku adalah orang yang penyabar. Ia tak pernah melontarkan bahasa tajam dalam menegurku, bahkan ia adalah penghibur di saat aku lelah dengan segala guyonan yang ia buat, Ia juga tipikal suami yang romantis, ia sering membuat kejutan, meskipun dari hal - hal yang kecil, membentuk, bantal guling dan selimut di atas kasur menjadi ucapan I Love U adalah hal kecil yang membuat hatiku bahagia saat melihatnya. Aku yang cenderung kaku dan eksak begitu bahagia Allah sandingkan dengan seorang Imam yang humoris, taktis dan romantis. Proses perkenalan samapai menikah yang hanya berlangsung 5 bulan itu, kini menjadi benih - benih cinta yang bersemai di atas tanah yang bernama keluarga.
Daaaan, jauh dari segala masalah apapun yang menerpa kehidupan rumahtangga kami yang saat ini masih berusia jagung, semoga Allah senantiasa membimbing kami dalam kesyukuran, dalam kesabaran, dalam ketaatan dan Allah berkahkan keluarga kami serta menjadikan keluarga kami keluarga yang sakinah mawaddah warahmah dan da'iah.
"Sebaik - baik do'a adalah
Alhamdulillaahirabbik'alamiiin.." - Al- Hadits